2 Desember 2010

Orang yang Benar, Belum Tentu Orang yang Baik

Hampir setiap hari, rumahnya di bilangan Rawa Belong, Jakarta Barat, disinggahi banyak orang. Semuanya datang untuk berobat. Baik medis maupun non-medis.

Ustadz Aang Irwan (30th), membuka rumahnya sebagai tempat pengobatan dari sakit yang bersifat fisik maupun penyakit hati, dan segala hal yang berhubungan dengan dunia gaib.

Ketika bertandang ke rumahnya, terutama selepas Maghrib, jangan heran kalau sudah banyak orang yang mengantri untuk berobat. Meski dibuka sejak jam 10 pagi, tapi sebagian besar orang lebih banyak datang di malam hari.

Tidak ada nomer pasien dan tidak ada nomer giliran. Di sana, tidak perlu mendaftar untuk berobat. Kita tinggal menunggu dan bertanya pada pasien lainnya siapa orang yang datang sebelum kita. Kalau sudah tahu siapa orangnya, tinggal tunggu orang itu selesai berobat, lalu kita yang berikutnya.
Dalam ruang tunggu yang sebenarnya ruang tamu Ustadz Aang Irwan tersebut, lebih diutamakan agar setiap orang yang berobat bisa bersilaturahim dengan lainnya. Karena tidak ada nomer giliran, otomatis orang yang datang harus bertanya dengan yang lainnya. Dengan begitu, mereka akan saling berkenalan atau bertukar cerita tentang masalahnya.

Ustadz Aang Irwan Kecil
Ustadz Aang Irwan lahir di Tasikmalaya, 30 tahun lalu. Masa kecilnya banyak dihabiskan di sebuah dusun bernama Tebing Maut, Palembang, yang banyak dihuni masyarakat transmigran. Ayahnya seorang kepala dusun yang cukup terpandang di daerahnya.

Ketika berumur 6 tahun, Ustadz Aang Irwan kecil ingin sekali di sunat. Karena keinginan tersebut tidak bisa terbendung lagi, beliau pun memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya. Tapi, tanpa disangka, sang ayah menolak keinginannya dengan alasan keluarga belum siap untuk menggelar hajatan sunat.

“Ayah saya itu kan, kepala dusun. Jadi, keluarga kami tidak bisa menggelar hajatan biasa-biasa saja karena akan banyak tamu yang diundang dan perlu persiapan,” kata Ustadz Aang Irwan.

Mendengar penolakan ayahnya, Ustadz Aang Irwan kecil pun kecewa lalu kabur dari rumah menuju hutan. Di dalam hutan, Ustadz Aang Irwan kecil menangis sejadi-jadinya dan merasa kesal. Namun, di tengah kegundahannya, beliau dihampiri oleh sosok gaib seorang kakek-kakek berjubah dan berpeci hijau yang menanyakan kenapa menangis.

Diceritakanlah apa saja yang baru terjadi dan apa yang menjadi keinginannya. Lalu, kakek tersebut pun menyuruh Ustadz Aang Irwan kecil untuk membuka celana. “Karena masih kecil, dengan polosnya, saya turutin saja perintah kakek tersebut. Saya disuruh baca al-Fatiha, setelah beberapa lama, alat vital saya sudah tersunat.
Waktu itu, saya tidak tahu kalau kakek itu sosok gaib atau orang biasa,” cerita Ustadz Aang Irwan.

Setelah selesai, lanjutnya, saya disuruh pulang dan sosok kakek tersebut pun menitip salam buat ayah saya.

Dari situ, setahun kemudian, Ustadz Aang Irwan kecil merasa ada perubahan dalam dirinya sampai berumur 7 tahun. Waktu itu, ayahnya pernah berpesan untuk mencari ilmu, jangan cari uang. Banyak-banyak membantu orang ketika besar nanti.

Selang beberapa waktu lamanya, ayah Ustadz Aang Irwan pun jatuh sakit. Bukan sakit biasa karena setiap ke rumah sakit, penyakitnya pun sembuh. Anehnya lagi, setiap malam Jumat Legi, dari tubuh ayahnya keluar paku yang sering dicabuti oleh Ustadz Aang Irwan kecil. “Dulu, saya yang sering cabutin,” ujar ustadz yang waktu kecil bercita-cita jadi polisi ini.

Tak berapa lama, ayahnya pun dipanggil Tuhan dengan meninggalkan tanda tanya besar buat Ustadz Aang Irwan kecil. Apakah ayahnya meninggal karena sakit atau dikerjain orang melalui ilmu gaib?

“Waktu kecil saya sempat mendendam pada siapa yang membunuh ayah saya. Sampai dengan 40 hari ayah meninggal, saya penasaran. Kalau benar ayah saya meninggal karena guna-guna, saya harus tahu siapa yang membunuhnya,” kata Ustadz Aang Irwan.

Karena jawaban dari pertanyaan tersebut tidak kunjung ditemui, Ustadz Aang Irwan kecil yang saat itu berumur 8 tahun pun pergi ke dalam hutan pedalaman dan bertemu dengan kepala suku primitif. Di sana, beliau memelajari berbagai ilmu dengan motivasi untuk mencari tahu siapa pembunuh ayahnya.

“Hampir 8 tahun saya tinggal dan belajar berbagai ilmu di hutan tersebut. Sampai suatu saat ketika guru yang sekaligus menjadi ayah angkat menunjukkan siapa sebenarnya pembunuh ayah saya. Lewat air yang terisi dalam sebuah gentong, saya bisa lihat wajah dan namanya,” ungkap Ustadz Aang Irwan.

Setelah itu, beliau pun pulang ke rumah yang sekitar 8 tahun ditinggalkannya. Sampai di rumah, ibunya sudah tidak mengenali lagi Ustadz Aang Irwan. Setelah diyakinkan, baru ibunya percaya. “Sampai di rumah, ternyata ibu saya sakit lumpuh.
Waktu itu, saya coba mengobati. Hanya dengan mengucap dua kali nama ayah, ibu saya langsung bisa berdiri,” cerita lelaki kelahiran Tasikmalaya, 8 – 8 -1980 ini.

Dua bulan lamanya di rumah, mencari tahu siapa sebenarnya nama pembunuh ayahnya yang telah diketahui, Ustadz Aang Irwan pun pergi ke tempat tinggal tersangka pembunuh ayahnya di daerah Tasikmalaya. Saat itu, dendamnya masih membara, dibawanya berbagai senjata tajam bermaksud untuk membunuh pembunuh ayahnya.

Tapi di luar dugaan, sesampainya di sana, bila semula penuh amarah dan dendam di hati untuk membalaskan kematian ayahnya, Ustadz Aang Irwan malah tidak berdaya dan serasa tidak bisa bergerak. Tersangka pembunuh ayahnya pun sudah tahu kalau akan didatangi.

“Entah kenapa, sosok ibu tua tersebut, dengan ketulusannya meminta maaf dan mengakui bahwa dialah yang membunuh ayahnya. Dua jam saya termenung. Apa yang harus saya lakukan dengan pengakuannya itu? Alhamdullilah di saat kebingungan batin, Allah memberikan maghfiroh apa yang telah dikerjakan ibu itu,” ujar Ustadz Aang Irwan.

Orang itu, tambahnya, ternyata sakit seperti ayah saya dan dalam keadaan terpasung. Saya tidak tega dan perang batin. Antara ingin membunuhnya atau tidak,” ujar Ustadz Aang Irwan.

Anehnya, lanjutnya, saat sedang bimbang, sosok yang dulu pernah menyunati saya, sekilas datang. Dia bilang, “dendam tidak akan ada habisnya”. Akhir kata, saya baru tahu kalau semua itu hanya salah paham dan orang itu saya obati.

Selepas peristiwa itu, masih di Tasikmalaya, Ustadz Aang Irwan kembali dikenali dengan ajaran Islam yang lama ditinggalkan di rumah kakeknya. Tiga bulan berselang, beliau pergi ke Cianjur, belajar di salah satu pesantren terkenal di sana. “Waktu pertama masuk, saya disuruh bersihkan badan. Kalau tidak mau, jangan masuk ke sini,” cerita Ustadz Aang Irwan.

Akhirnya di situ saya banyak belajar, tambahnya, saya ambil makna dari apa yang dialami. Di sana, saya baru tahu bahwa tidak ada yang namanya ilmu hitam atau ilmu putih. Tergantung ke mana dan tujuan hati kita. Buat apa kita melakukannya.

Di pesantren tersebut, Ustadz Aang Irwan banyak belajar teori-teori pengobatan sampai suatu saat bilang sama gurunya kalau beliau ingin bukti, bukan cerita. Akhirnya diberikanlah berbagai bukti-bukti pengobatan sampai hafal benar berbagai tehnik pengobatan beserta penawarnya.

Ke Jakarta
Masjid Istiqlal adalah tujuan Ustadz Aang Irwan ketika ingin datang ke Jakarta. Dengan kemauannya tersebut, Ustadz Aang Irwan rela berjalan kaki selama 5 hari 5 malam untuk ke Jakarta. Sebelum ke Jakarta, beliau diingatkan kembali oleh ibunya agar jangan gunakan kemampuan karena uang. “Waktu itu, saya cuma ingin cari jati diri, siapa sih diri saya ini?” kata Ustadz Aang Irwan.

Sesampainya di Jakarta, Ustadz Aang Irwan pergi ke Tanah Abang. Di sana, beliau bertemu dengan seorang Madura yang sakit, tidak bisa bangun karena asam urat. Ditolongnya orang itu, sampai dianggap sebagai orang tuanya sendiri. Lama di daerah tersebut, sempat pula Ustadz Aang Irwan berjualan sate sampai bertemu jodohnya di sana.

Sekarang, Ustadz Aang Irwan membuka rumahnya sebagai tempat pengobatan penyakit medis dan non-medis. Puluhan orang datang setiap hari. Mengenai biaya pengobatan ditetapkan seikhlasnya tanpa harga tertentu. “Pernah ada yang bayar 5000 rupiah, tidak apa-apa. Saya anggap jika saya menanam di sini, saya akan memanen di tempat lain,” katanya.

Dalam setiap pengobatan, akan digunakan pendekatan medis terlebih dulu. Kalau tidak ditemukan jawabanya, baru beralih ke pendekatan non-medis. “Saya tidak mau langsung ke hal non-medis. Jangan obati penyakit dengan penyakit,” tanda Ustadz Aang Irwan yang memiliki pesantren dengan nama Al Irwan di derah Bogor.

Menurutnya, semua kemampuan yang didapatnya adalah rahasia Allah. Kita baik karena belajar dari makna kesalahan sehingga tahu mana yang baik dan benar. “Orang yang benar belum tentu baik karena benar menurut kita belum tentu baik menurut orang lain. Tapi orang yang benar adalah orang yang belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik,” tutupnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger